Wednesday, June 2, 2010

Alam Semesta Dalam Berbagai Teori


Teori Big Bang

9 April 2008

LankaWeb,
California, Amerika Serikat – Kepercayaan atas awal dari semesta merupakan hal yang mendasar bagi kebanyakan agama dan juga bagi sains. Teori Big Bang atau Ledakan Besar, yang menyatakan bahwa alam semesta berawal sekitar 13.7 milyar tahun yang lalu, bersama dengan ruang dan waktu, diperkirakan merupakan penjelasan terbaik secara sains bagaimana alam semesta dimulai.

Pada tahun 1922, meteorologiwan dan matematikus asal Rusia, Alexander Friedman menggunakan teori Relativitas Umum Einstein untuk menyusun sebuah model dari perluasan/pengembangan alam semesta. Seorang kosmologiwan dan rohaniawan asal Belgia, George Lemaitre secara indipenden melakukan hal yang sama pada tahun 1927 dan memberikan nama bagi kondisi awal alam semesta yang sangat kecil sekali tersebut sebagai “atom primodial”. Pada tahun 1946, fisikawan Rusia-Amerika, George Gamow mampu mempertunjukkan 300 ribu tahun pertama dari eksistensi alam semesta, suhunya, dan kepadatan yang begitu besar yang tidak satupun struktur yang ada sekarang bisa eksis dan yang hanya berisi partikel-partikel elemen dan radiasi.

Menurut teori, awal bagi “ledakan besar” adalah tidak ada apapun; saat dan setelah momen (“ledakan besar”) tersebut barulah ada sesuatu, yaitu alam semesta kita. Oleh karena itu, teori Ledakan Besar adalah suatu usaha untuk menjelaskan apa yang terjadi saat dan setelah momen (setelah “ledakan besar”) tersebut. Jika alam semesta kita berawal dari sesuatu yang sangat kecil sekali, sangat panas, ketunggalan yang sangat padat, lalu dari manakah asal dari ketunggalan ini? Teori Ledakan Besar tidak mampu menjelaskan hal ini.

Teori Ledakan Besar juga dianut oleh banyak ahli teologi di Eropa seperti Paus Pius XII. Pada tahun 1951, Paus Pius XII menghubungkan perkataan Tuhan dalam Kitab Kejadian, “Jadilah terang,” untuk menyebut ledakan yang terjadi pada “ledakan besar” dan sejak saat itu, teori Ledakan Besar menjadi teori yang populer sebagai teori awalnya semesta.

Apakah mungkin bagi ilmuwan Buddhis dari suku Sinhala di Sri Lanka mengusung sebuah teori yang akan menjelaskan mengenai alam semesta? Menurut Buddhisme, ruang dan waktu hanyalah konsep yang diciptakan oleh persepsi kita terhadap dunia, dan tidak ada eksistensi yang terlepas dari persepsi kita. Dengan kata lain, mereka adalah hal yang tidak “nyata”.

Gagasan akan sebuah permulaan waktu yang mutlak merupakan sebuah kecacatan, menurut pemikiran Buddhis. Umat Buddhis juga tidak mempercayai adanya awal waktu dan ruang yang nyata yang muncul tanpa sebab-sebab atau kondisi-kondisi. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu pun yang dapat memulai dari awal untuk eksis atau berhenti untuk eksis. Yang ada hanyalah perubahan. Teori seperti Ledakan Besar pastilah semata-mata sebuah episode dari suatu rangkaian berkelanjutan yang tanpa sebuah awal ataupun sebuah akhir.

Buddhisme mengangap bahwa fenomena tidaklah benar-benar “lahir”, artinya mereka terlepas dari ketidakberadaan untuk menjadi keberadaan. Mereka eksis hanyalah dalam istilah relatif atau istilah umum/konvensional (sammuthi-sacca). Kebenaran konvensional muncul dari pengalaman kita akan dunia, dari cara biasa yang kita terima, yaitu, dengan menganggap segala sesuatu itu eksis secara obyektif. Buddhisme mengatakan bahwa persepsi-persepsi seperti itu adalah menyesatkan dan pada akhirnya fenomena tidak memiliki keberadaan yang hakiki. Ini adalah “kebenaran mutlak” (paramattha-sacca). Dalam pemahaman ini, pertanyaan akan penciptaan menjadi sebuah masalah yang sumbang semenjak gagasan akan penciptaan itu sendiri hanya diperlukan dalam sebuah dunia objektif.

Namun, hal ini tidak menghalangi kita dari menciptakan sebuah teori bagi alam semesta dalam dunia konvensional selama kita menyadari akan perbedaan antara sammuthi-sacca dan paramattha sacca.

Teori alam semesta kita dapat berdasarkan pada konsep-konsep Buddhis dari samvatta-kappa, vivatta-kappa (Anguttara Nikaya, Agganna Sutta) dan paticca-samuppada. Vivatta-kappa dapat diartikan sebagai ekspansi (pengembangan) waktu dan samvatta- kappa dapat diartikan sebagai kontraksi (pengerutan) waktu. Perputaran waktu samvatta dan vivatta ini disebut kappa (kalpa dalam bahasa Sanskerta) yang secara kasar diartikan sebagai masa waktu yang tidak dapat diperkirakan atau masa waktu yang sangat lama.

Lebih jauh, perputaran waktu ini dibagi menjadi empat bagian: 1. Periode ekspansi/pengembangan (vivatta-kappa). 2. Periode dimana alam semesta tetap berada dalam kondisi pengembangan (vivatta-tthayi). 3. Periode kontraksi/pengerutan (samvatta-kappa), dan 4. Periode dimana alam semesta tetap dalam kontraksi/pengerutan (samvatta-tthayi). Dikatakan bahwa keempat periode tersebut masing-masing terdiri atau dibagi ke dalam 20 anatara-kappa. Dua puluh anatara-kappa sebanding dengan satu asankheyya-kappa (tak terhitung), dimana masing-masing keempatnya disebut asankheyya-kappa. Seluruh perputaran waktu (empat asankheyya-kappa) disebut dengan maha-kappa (kappa besar). Masa sekarang merupakan salah satu dari dua puluh antar-kappa dalam vivatta-tthayi (periode dimana alam semesta tetap berada dalam kondisi pengembangan).

Menurut Buddhisme alam eksistensi (kehidupan) dapat dibagi menjadi tiga dunia/alam (loka), alam tanpa wujud/materi (arupa-loka), alam wujud/materi (rupa-loka) dan alam napsu (kama-loka). Dikatakan bahwa para dewa yang tinggal, misalnya di alam brahma Abhassara memiliki panjang usia sekitar delapan maha-kappa dimana lebih lama dari satu masa perputaran dunia. Apakah ini berarti para dewa ini “eksis” di luar (dimanapun) dari alam semesta tiga dimensi (mungkin dimensi yang lebih tinggi lagi) seperti yang kita ketahui? Mungkinkah alam-alam ini merupakan alam semesta yang berbeda atau yang banyak versi (bukan berarti kemungkinan adanya banyak alam semesta, tetapi mengajukan kemungkinan adanya hubungan ruang dan waktu antara alam yang berbeda) ?

Dalam teori kita, perputaran/siklus semesta (bukan berarti berputar atau mengalami pengulangan) dapat digambarkan sebagai pembagian empat periode: pembentukan, keberlangsungan, kehancuran dan masa kondisi tidak bermanifestasi yang mungkin merupakan kondisi jedah antara dua alam semesta. Siklus ini tidak berakhir maupun berawal. Periode keempat, samvatta-tthayi (periode pengerutan), dapat dianggap sebagai sebuah masa dimana alam semesta mengalami keabsenan (tidak muncul). Skenario dimana suatu saat alam semesta akan mengalami keruntuhan ke dalam dirinya sendiri merupakan hal yang jauh dari pembuktian secara ilmiah. Kita dapat mengatakan bahwa alam semesta mengalami pengembangan dan mencapai sebuah volume yang maksimal dan kemudian mengalami pengerutan sampai volume yang minimal. Mungkin terdapat kondisi jedah yang dapat digambarkan sebagai laju percepatan pengembangan/pengerutan ataupun laju perlambatan pengembangan/pengerutan. Kita mungkin juga bisa menunjukkan volume, suhu, dan kepadatan alam semesta yang tidak akan menjadi tanpa batas pada titik manapun di dalam siklus tersebut seperti yang pernah diajukan oleh beberapa orang, tetapi mencapai sebuah keterbatasan.

Teori kita nampaknya berlawanan dengan dua gagasan utama astronomi modern.

Menurut astronomi modern, jika alam semesta memang memulai siklus lain, maka mereka akan berbeda semuanya. Alam semesta akan membentuk lebih banyak lagi energi, sehingga siklus yang baru akan bertahan lama dari siklus sebelumnya dan ukuran maksimal alam semesta akan menjadi lebih besar dan lebih besar lagi. Jika alam semesta tidak memiliki cukup materi untuk gravitasi untuk menghentikan pengembangannya, maka alam semesta akan terus mengembang sampai akhir waktu dan tidak akan mengalami siklus

Kedua, jika pengembangan alam semesta dapat mengalami pengulangan, sejauh yang telah diamati, maka alam semesta harus memiliki materi lebih banyak lagi. Menurut para ilmuwan, menemukan berapa banyak materi yang dimiliki alam semesta adalah hal yang sulit semenjak adanya sejumlah besar “dark matter” (materi hitam) yang tidak mengeluarkan radiasi apapun dan memiliki medan gravitasi yang lemah. Observasi terbaru terhadap supernova atau ledakan bintang di galaksi lain nampaknya menunjukkan bahwa pengembangan alam semesta sebenarnya mengalami percepatan. Percepatan pengembangan ini menegaskan keberadaan “dark energy” (energi hitam) yang misterius. Jika ini masalahnya, maka alam semesta akan mengalami pengembangan selamanya yang mana berbeda dengan teori kita. Meskipun demikian teori-teori baru seperti model cyclic nampaknya sependapat dengan model kita. Gagasan baru ini nampaknya belum didukung oleh observasi.

Jika kita menggunakan konsep-konsep Buddhis secara hati-hati dengan pengetahuan kita sekarang, suatu saat kita akan mampu mengajukan teori alam semesta dan evolusi kita sendiri, dan dalam prosesnya kita dapat menyumbang pemahaman yang berharga bagi sains modern. Dengan panduan Professor Nalin de Silva, purwarupa teori-teori kita nampaknya akan dituliskan dalam papan tulis di Universitas Kelaniya.

(Oleh: Akila Weerasekera)

http://berita.bhagavant.com/2008/04/09/teori-big-bang.html

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...